Assalamu’alaikum teman –
teman ... ^_^
Hellow there sahabat-sahabat hijabers yang anggun, manis, cantik dan soleha .
01 Februari kemarin tepatnya, orang – orang sedunia pada memperingati hari hijab sedunia loe.
Jilbab
sudah dikenal sejak dulu. Di beberapa negara Islam, pakaian sejenis jilbab
dikenal dalam banyak istilah, seperti chador di Iran, pardeh di India dan Pakistan,
milayat di Libya, abaya di Irak, charshaf di Turki, dan hijâb di beberapa
negara Arab-Afrika seperti di Mesir, Sudan, dan Yaman. Terlepas dari istilah
yang digunakan, sebenarnya konsep berjilbab memang milik semua agama. Misalnya
dalam kitab Taurat, kitab suci agama Yahudi, dikenal beberapa istilah yang
semakna dengan hijâb seperti tif’eret. Demikian pula dalam kitab Injil yang
merupakan kitab suci agama Nasrani (Kristen dan Katolik) diistilahkan dengan
zammah, re’alah, zaif dan mitpahat.
Menurut
Eipstein, seperti dikutip Ust. Nasaruddin Umar dalam tulisannya, "Hijâb
sudah dikenal sebelum adanya agama-agama Samawi (Yahudi dan Nasrani /
Kristen)" jilbab sudah menjadi wacana dalam Code Bilalama (3.000 SM),
kemudian berlanjut di dalam Code Hammurabi (2.000 SM) dan Code Asyiria (1.500
SM). Ketentuan penggunaan jilbab bahkan sudah dikenal di beberapa kota tua
seperti Mesopotamia, Babilonia, dan Asyiria. Dengan demikian sejarah mencatat
bahwa jilbab sendiri merupakan bagian dari busana yang dianjurkan atau dikenalkan
atau di wajibkan atau menjadi identitas dari agama-agama besar di dunia. Dapat
disimpulkan bahwa jilbab/Hijaab muncul dari lingkungan keagamaan dan menjadi
tradisi kehormatan di lingkungan terhormat (kerajaan, biara, ordo, tempat
ibadah, dsb). Bila membandingkan dengan sejarah rok mini, jelas jilbab lahir
dari semangat dan miliu yang berbeda.
Jilbab/Hijab/Kerudung
awalnya adalah sebuah benda yang kemunculanya akibat dari dorongan syaraiat,
artinya munculnya ide budaya materiJilbab/Hijab/Kerudung adalah berasal dari
hukum Alloh yang jelas, sudah diberi definisi dan ketentuan apa yang dimaksud,
dan dalam kadar seperti apa sesuatu bisa disebut sebagai sebuah
Jilbab/Hijab/Kerudung (Al ~ Qur’an surat An – Nur (24): 31). Sehingga manusia
tinggal memahami kemudian mewujudkanya. Dalam konteks ini, penulis menafsirkan
awalnyaJilbab/Hijab/Kerudung masih sebatas sebagai fungsi teknis, artinya baru
sebatas sebagai sebuah benda yang memiliki fungsi untuk menutupi bagian tubuh
yang dilarang untuk dilihat oleh orang lain, untuk menghindari maksiat bagi
yang melihat( Al ~ Qur’an surat Al – Ahzab (33): 59). Kemudian
fungsiJilbab/Hijab/Kerudung tidak hanya sebatas sebagai fungsi teknis saja.
Karena dalil tidak sebatas itu dalam memerintah, akan tetapi Jilbab/Hijab/Kerudungjuga
sebagai sebuah identitas bagi si pemakainya. akibatnya masyarakat Arap yang
memakai Jilbab/Hijab/Kerudung sesuai syariat memiliki identitas sosial baru,
yaitu sebagai seorang wanita muslim yang dihormati dan lelaki segan dan tidak
menggangu, demikianlah catatan sejarah berkata. Sehingga
jikaJilbab/Hijab/Kerudung dikaitkan sebagai sebuah identitas sosial kaitanya
dengan keagamaan, maka pembacaan Jilbab/Hijab/Kerudung berkembang lagi, tidak
hanya sebatas teknofak, dan sosiofak akan tetapi fungsi ideofak otomatis juga
melekat karena Jilbab/Hijab/Kerudung adalah bagian dari syariat agama islam,
yang tak lain islam sebagai sebuah ideologi bagi sebagaian manusia dimuka bumi
ini.
Sebagai
mode, jilbab lahir dari konsep tentang kecantikan dan keindahan berstandar
tinggi, bahkan ilahiah. Juga karena inilah kita bisa mengerti dan memaklumi
adanya tuntutan agar pemakai jilbab harus punya spiritual quotient yang special
! Tidak saja anggun jilbabnya juga santun dan mewah akhlaknya, saya rasa semua
pihak menerima ini sebagai titik ideal. Dalam hukum Islam -setidaknya yang
mewajibkan penggunaan jilbab- urusan jilbab dapat dipandang sebagai syarat
berbusana seorang wanita, yang tidak secara otomatis menyulap pemakainya
menjadi wanita berakhlak indah, itu masih perlu banyak pembuktian yang lain.
Maksud saya begini ; kalau ada dua wanita pencuri, yang satunya berjilbab dan
yang lain tidak berjilbab, maka bobot dosanya berbeda. Pencuri berjilbab
melanggar satu larangan yaitu mencuri, sedangkan yang tidak berjilbab melanggar
dua larangan yaitu mencuri dan tidak berbusana dengan baik.
Abad
ke 7 adalah abad dimana awal perintah berkerudung/berhijab, dalam konteks abad
ke 7 di semenanjung Arabia, kondisi sosial masyarakat jauh dari pengaruh
peradaban dua imperium besar yaitu Romawi dan Persia.(lihat: sejarah Muhammad,
M Husein Haekal) Hal ini sebagai dampak dari geomorfologi Arab yang terpencil
dan terkukung dari pegunungan dan padang pasir, hal ini berdampak pada pengaruh
budaya yang cukup kecil terjadi, sehingga apa yang dikembangkan oleh masyarakat
masih sesuai dengan doktrin yang ada di lingkungan masyarakat Arab.
Jilbab/Hijab/Kerudung sebagai sebuah hasil pemahaman atas dalil agama juga
belum mengalami perubahan akibat pengaruh dua pusat kebudayaan dan masih sesuai
dengan makna, dan ketentuanya, yang dimaksud disini sesuai dengan dalil adalah
Jilbab/Hijab/Kerudung berarti: kain penutup kepala sehingga kain menjulur
hingga dada.
Hal
ini dapat ditarik sebuah pengetian bahwa masyarakat pendukung kebudayaan Jilbab/Hijab/Kerudung
pada awalnya masih memegang teguh ketentuan-ketentuan dalil tentang
Jilbab/Hijab/Kerudung, dan belum terfikirkan untuk merubah makna
Kerudung/Hijab/Jilbab. Pasca islam pada abad ke 9-12 mengalami perkembangan dan
persebaran mengalami akulturasi dengan kebudayaan lainya, misalnya di sebagaian
Negara timur-tengah berkembang model Jilbab/Hijab/Kerudung dengan cadar, burqa,
niqop, dan masker, kemudian berkembang pula di Nusantara atau Melayu abad
19Jilbab/Hijab/Kerudung selendang yang tidak menutupi penuh kepala, dan hanya
di selampirkan. di kawasan timur juga berkembangJilbab/Hijab/Kerudung dengan
motif hiasan tertentu sesuai dengan konteks lingkunganya, tidak sebatas polos
tanpa motif, dan lain sebagainya. Hal ini menggambarkan bahwa ada sebuah perkembangan
dalam berupaya untuk menafsiakan Jilbab/Hijab/Kerudung. Faktorya tentu banyak,
hal ini terkait dengan kondisi sosial budaya, lingkungan, dan pemahaman atas
dalil agama.
Singkatnya
dalam konteks kondisi sosial-budaya misalnya: pendapat yang masih menjadi
perdebatan para ahli, bahwa khusunya di Jawa pada abad 19, masih sedikit
masyarakat yang memakai Jilbab/Hijab/Kerudung sesuai ketentuan dalil, hanya
sebatas selendang yang diselampirkan di kepala, hal ini sebagaian berpendapat
bahwa, hal ini sebagai dampak pola penyebaran agama islam yang dilakukan oleh
Wali Songo, yang sangat toleran dengan budaya lokal, sehingga pada waktu itu
Wali Songo baru menyampaikan masalah Teologis belum sampai pada masalah fiqih
Jilbab/Hijab/Kerudung, karena menyadari bahwa hal ini akan merubah budaya
berpakaian masyarakat jawa yang sangat mencolok. Contoh lain dalam konteks
kondisi lingkungan alam: misalnya pada masyarakat di Melayu, yang memakai
Jilbab/Hijab/Kerudung dengan bahan dan motif yang lebih variatif, hal ini menggambarkan
kondisi bahan bakuJilbab/Hijab/Kerudung, yang sesuai dengan kondisi sumber daya
alam masyarakat pendukungnya. Dan contoh yang terakhir adalah
perubahanJilbab/Hijab/Kerudung karena pemahaman dalil agama yang menyebabkan
berubahanya Jilbab/Hijab/Kerudung. Misalnya saja Cadar yang masih menjadi
perdebatan para ulama dalam hal keharusanya memakai.
Dari
semua proses dari awal pemahaman manusia atas dalil agama yang menyebutkan
keharusan berkerudung/berhijab, hingga abad selanjutnya dalam proses perubahan
Jilbab/Hijab/Kerudung dapat dimaknai bahwa manusia pendukung budaya materi
Jilbab/Hijab/Kerudung memiliki pola fikir pada dimensi Jilbab/Hijab/Kerudung
sebagai sebuah benda materi sacral, karena ini adalah perintah Alloh, sehingga
tidak ada inovasi yang berarti, jika ada hal ini disebabkan karena
factor-faktor yang sebenarnya bukan melenceng dari anggapan kesakralan itu
sendiri, ini hanya terkait dengan factor teknis saja, belum beranjak pada
masalah pergeseran ideologi.
·
Memaknai Fenomena Perubahan Budaya
Materi: Jilbab/Hijab/Kerudung Kreatif
Yang
dimaksud Jilbab/Hijab/Kerudung Kreatif dalam hal ini adalah
sebuahJilbab/Hijab/Kerudung yang penulis anggap hilang dari sisi nilai-nilai
ideologis sebagai dasar kemunculnya, dan bergeser yang lebih menonjol pada sisi
gaya hidup atau sebuah mode. Sehingga Kerudung/Hijab/Jilbab disini mengalami
pergeseran makna, dari sacral menjadi profane.Kerudung/Hijab/Jilbab hari ini
juga telah menjadi symbol-simbol lapisan sosial, tentu saja maksud penulis
bukan sebatas symbol lapisan sosial dalam kontek antara agama, seperti pada
permulaan munculnya Jilbab/Hijab/Kerudung itu sendiri, akan tetapi sebagai
sebuah symbol lapisan sosial dalam kontek klasifikasi tingkatan ekonomi.
Selanjutnya penulis juga menemukan sebuah fenomena yang cukup menarik bahwa
fenomena Jilbab/Hijab/Kerudung kreatif telah menarik segelintir orang untuk
mengapresiasi melalui sebuah perkumpulan yang dipersatukan atas dasar budaya
materi ini. Ternyata hobi, kegemaran dan bisnis memakai Jilbab/Hijab/Kerudung
ini mengispirasikan sekelompok wanita untuk mendirikan sejumlah situs untuk
mempromosikan dan kemudian mempunyai basis massa dan visi-missi tertentu.
Kemudian
munculnya Jilbab/Hijab/Kerudung kreatif juga menumbuhkan sebuah klasifikasi
yang baru, hal ini sebuah fenomena yang
biasa dalam konteks zaman sekarang. Misalnya kita berangkat dari sebuah contoh,
agar mudah menggambarkan hal ini. Lagam atau model pada budaya materi celana
jeans misalnya, tahun 70-an umum telah berkembang model calana jeans cutbrai,
baru pada tahun 90-an model ini sempat menghilang, dan kembali muncul tahun
2007. Kemudian model ini tahun 2010 menghilang karena model celana jeans
pensil. Gaya celana pensil ini secara otomatis akan menganeliasi gaya cutbraiy,
sehingga jika ada remaja yang masih memakai celana jeans cutbraiy saat ini
dalam perspektif klasifikasi fashions dia akan masuk pada golongan mode kuna.
Hal ini terjadi secara otomatis, sehingga celana pensil dalam waktu sekejap
menjamur dan dipakai segala lapisan masyarakat yang selalu tidak mau
ketinggalan mode. Nampaknya begitu juga dengan Jilbab/Hijab/Kerudungini.
Jilbab/Hijab/Kerudung ini mulai menjamur,apalagi dengan dukungan media massa
dan elektronik, Jilbab/Hijab/Kerudung ini siap-siap akan menjadi pusat
perhatian baru, sehingga masyarakat akan banyak memburu model ini. Dalam
perkembangan waktu seperti yang berlaku pada celana jeans, bahwa jika masih ada
yang menggunakan Jilbab/Hijab/Kerudung “formal” maka secara otomatis dia akan
masuk dalam klasifikasi gaya era masa lalu, tentu hal ini melalui kacamata
masyarakat pengagum mode.
Kemunculan
mode ini memang tidak datang sesederhana seperti apa yang kita banyangkan.
Kemunculan ini tentu melalui beberapa fase dan kepentingan. Ada beberapa
tahapan yang penulis jabarkan disini tentu dalam kontek Indonesia. Pertama:
bahwa munculnya Kerudung/Hijab/Jilbab yang marak di Indonesia baru muncul pasca
tumbangnya rezim Orde Baru. Pada waktu itu ditandai dengan munculnya
kerudungisasi dikalangan masyarakat kampus. Orde Baru adalah dimana
Kerudung/Hijab/Jilbab menjadi sebuah hal yang masih awam untuk dipakai. Hal ini
memang sangat terkait dengan situasi politik dan budaya pada masa itu.
Peperangan yang panjang pasca kemerdekaan, sampai kondisi pemerintah yang
antipati terhadap gerakan ekstrimis kanan yang terwakilkan oleh gerakan DII dan
Negara Islam Indonesia hingga terakhir tragedi Tanjung Priok berdampak pada
pengamalan agama islam. Selain itu juga kebijakan pemerintah yang cukup
represif terhadap pengawasan kegiatan pengamalan agama dan siar islam yang
dilakukan sejumlah organisasi islam juga berdampak pada sosialisasi atas
Jilbab/Hijab/Kerudung ini, sehingga dampaknya sangat terlihat pada masa Orde
Baru sedikit muslimah yang memakai Kerudung/Hijab/Jilbab. Kedua: era tahun
90-an, pemerintah cukup mulai memperhatikan kehidupan beragama. Hal ini sebagai
sebuah dampak dari kehidupan pribadi Soeharto yang sudah mulai berusia lanjut.
Religiusitas Soeharto meningkat ditandai dengan berangkatnya haji dan umroh
yang selalu dipertontonkan melalui media, hal ini dampaknya cukup bagus,
kelonggaran beragama mulai ditunjukan dengan beberapa surat keputusan presiden
yang dikeluarkan.
Ketiga:
pasca reformasi ada sekolompok masyarakat yang menginginkan kehidupan islami di
setiap lini aktivitas, dan juga dibarengi dengan kebebasan berekspresi, hal ini
semakin mempermudah segala aktivitas hidup sesuai dengan ideologi
masing-masing. Keempat: kemudian fase yang terakhir inilah yang menyuburkan
symbol-simbol agama dipakai dalam kehidupan, termasukJilbab/Hijab/Kerudung.
Sebuah catatan yang penulis tekankan adalah pada awalnya masyarakat belum
berfikiran akan memodifikasi gayaJilbab/Hijab/Kerudung mereka. hal ini tentu
saja dapat dipahami bahwasanya, masyarakat baru belajar memakai simbol baru
yang sebenarnya sudah lama dikenal, dampaknya adalah normative, dan masih
sesuai dengan ketentuan yang selaras dengan dalil.
Fase
selanjutnya memang Jilbab/Hijab/Kerudung menjadi trend masyarakat muslimah
indonesia. hal ini mendorong pula dimunculkanya aturan-atruran yang melegalkan
Jilbab/Hijab/Kerudung, terutama di instansi-instansi islam yang sebagai lembaga
pendukung kebudayaan ini. Dampaknya massiveJilbab/Hijab/Kerudung menjadi hal
yang biasa atau lumrah pada perkembangan selanjutnya. Kelumprahan inilah
sebenarnya akar dari sebuah upaya desakralisasi Jilbab/Hijab/Kerudung itu
sendiri, ditambah penekanan pada esensi kewajiban berkerudung bagi seorang
muslimah mulai ditinggalkan, dan hanya sebatas peraturan berkerudung yang
diberlakukan, terutama untuk sekolah islam. Tentu saja hal ini tidak mewadahi
jikalau muncul sebuah apologistik, terhadap esensi berkerudung.
Tradisi
menutup kepala dapat ditelusur dari bangsa Mesir Kuno yang memaknai rambut
sebagai simbol kekuatan, keagungan dan kebanggaan. Mereka senantiasa memotong
rambut secara total (botak) sebagai ekspresi kelemahan dan kerendahan hati di
hadapan Tuhan. Kepala yang tanpa rambut rentan terhadap sengatan panas sehingga
membuat mereka menutupi kepalanya. Tradisi memotong rambut ini kemudian
menyebar ke berbagai pelosok dunia dan dicerna oleh peradaban yang saling
berbeda termasuk Budha dan Hindu.
Dalam
tradisi Nasrani, rambut tidak banyak dibahas. Mungkin karena ajaran Yesus lebih
banyak menekankan esensi keberagamaan dan bukan simbol, maka beliau lebih
banyak menekankan pada sentuhan hati dan nurani bukan pada bentuk dan
penampilan. Kendati demikian Paulus dalam surat yang ditujukan kepada penduduk
Corinthius (Kitab 11: 4-14) pernah mengatakan sebagai berikut:
“Setiap
laki-laki yang bersembahyang atau bersuci hendaklah menutup kepalanya dengan
sesuatu, demikian juga dengan perempuan, hendaklah dia menutupinya. Sebab jika
perempuan tidak mau menudungi kepalanya, maka haruslah ia menggunting
rambutnya. Tetapi jika bagi perempuan itu adalah penghinaan maka haruslah ia
menudungi kepalanya? Sebab, pantaskah seorang perempuan menyembah Tuhan dalam
keadaan tidak bertutup kepala?”
Nampaknya
Paulus terpengaruh tradisi masyarakat Romawi yang membolehkan laki-laki
sembahyang tanpa menutup kepala namun di sisi lain dia masih berpegang pada
tradisi Yahudi yang melarang perempuan menghadap Tuhan tanpa menutup kepala
dengan kerudung atau penutup lainnya.
Rambut
perempuan dalam pandangan Yahudi dan Nasrani, juga beberapa agama lain tidak
dianggap aurat tetapi dianggap sebagai simbol kekuatan dan keagungan. Dengan
perspektif ini tradisi menutup kepala bagi kaum perempuan dan laki-laki (dalam
ajaran Yahudi) dan bagi perempuan (dalam ajaran Nasrani) merupakan simbol
kerendahan hati dan ketundukan diri di hadapan Tuhan. Maka sampai sekarang kita
masih melihat kaum agamawan Yahudi dan Nasrani menutup kepala mereka saat
bersembahyang. Dan kalaupun tidak menutup kepala sebagai penggantinya mereka
harus memotong rambut sebagaimana dipraktekkan para agamawan Hindu dan Budha.
Sedangkan
dalam ajaran Islam, menutup kepala (terutama perempuan) dianggap oleh sebagian
orang sebagai kewajiban agama sedangkan sebagian yang lain menganggapnya
sebagai bagian dari tradisi dalam berbusana (bukan kewajiban agama). Semasa
Arab Jahiliyah, para perempuan biasa melewati laki-laki dengan keadaan
telanjang dada tanpa ada penutupnya. Imam Zarkasyi menguraikan bahwa para
perempuan itu mengenakan pakaian yang membuka leher bagian dadanya, sehingga
tampak jelas seluruh leher dan urat-uratnya serta anggota sekitarnya. Mereka
juga menjulurkan kerudungnya ke arah belakang sehingga bagian muka kelihatan.
Lalu turunlah ayat tentang khimar atau kerudung:
“Wahai
Nabi katakanlah kepada perempuan mukmin agar menundukkan pandangan, menjaga
kehormatan dan tidak mempertontonkan perhiasan mereka kecuali yang sepantasnya
tampak saja. Dan hendaklah mereka menjumbaikan khimar (kerudung) ke
dada..”. QS An-Nur/24:31
Ayat
ini menganjurkan agar lebih mengutamakan menutup dada sebagai ganti tradisi
membiarkannya terbuka, tanpa maksud menetapkan jenis busana tertentu. Inilah
simbol pembeda perempuan mukmin dan yang tidak.
Tradisi
perempuan Arab untuk bersenang-senang, membiarkan muka mereka terlihat seperti
budak dan oleh kondisi tertentu mereka membuang hajat di padang pasir, sebelum
ada toilet di perumahan. Beberapa laki-laki sering berlaku buruk dengan
beranggapan kalau mereka adalah budak dan sering menggunakan para
perempuan itu untuk kepentingan politik dengan cara melecehkannya.
Lantaran merasa diganggu, mereka melaporkan kepada Nabi. Lalu turunlah ayat ini
untuk menjadi pembeda antara perempuan mukmin merdeka dan budak.
“Wahai
Nabi, sampaikanlah kepada isteri-isterimu, putri-putrimu dan perempuan mukmin
agar merendahkan jalabib (mantel) mereka. Yang demikian itu lebih memudahkan
mereka untuk dikenal, sehingga mereka terhindar dari perlakuan buruk…”. QS
Al-ahzab/33:59
Simbol
pembeda ini dilakukan dengan cara memanjangkan pakaian, sehingga mereka lebih
mudah dikenal dan tidak mendapat perlakuan buruk. Jilbab didefinisikan sebagai
pakaian yang lebih besar ketimbang khimar (kerudung) dan menutupi
tubuh (mantel). Sekarang, budak sudah dihapuskan sehingga rasanya
relevansi pembedaan itu sudah tidak diperlukan lagi.
Wassalam..