Selasa, 23 Februari 2016

Love Family


Liburan tahun ini Keluarga besarku liburan ke Pantai yang ada dimedan . Soalnya sudah terlalu lama  kali kami tidak main ke pantai, tapi aku ingat kapan terakhir kali ngumpul begini bareng keluarga, LEBARAN TAHUN LALU MUNGKIN. Saking gak ada waktunya buat ngumpul tuh, sok sibuk banget semua. Nah, kali ini kami memutuskan untuk liburan ke pantai.
Sebelum berangkat kami mempersiapkan barangbarang yang akan dibawa kesana. Keesokan harinya kami memeriksa lagi perlengkapan yang akan dibawa supaya tidak ada yang ketinggalan. "ma, sudah lengkap semua barang bawaanmu ?" tanya Ayah. "Sudah lengkap, yah." kataku. Sebelum berangkat Kami makan dulu. Setelah makan, Kami segera menuju ke bandara sultan syarif kasim riau II.  
Hari jum’at dan Waktu  menunjukkan  pukul 12.00  siang, lalu Kami sekeluarga menuju ke bandara yang tidak terlalu jauh dari rumah. Setelah Kami masuk ke bandara, barang pun satu demi satu sudah mengalami pemeriksaan dan kami pun segera cek-in. pukul 14.15 kami berangkat, Di perjalanan kami bersenang-senang sambil melihat pemandangan yang ada di atas awan… ternyata ketika kita diatas semua awan itu rata sama sekali, Biasanya lihat langit dan awan ada yang tidak menyatu, tapi semuanya beda ketika kita sudah berada diatas,mereka menyatu tanpa ada celah sedikit pun.. subhanaallah kuasa allah sungguh besar, tiada tandingannya.
Alhamdulillah kami sampai dibandara kuala namu pas ashar, sambil menunggu  barang datang, kami melaksanakan shalat ashar terlebih dahulu. Setelah selesai shalat, tidak beberapa lama barang kami sudah ada, dan kami pun menunggu jemputan. Ternyata benar yang diberitan, kalau bandara kuala namu ini sudah bandara yang paling bagus di Indonesia. Tiada tiada tandingannya dengan bandara yang lain.
Jemputan pun telah tiba, kami langsung kerumah brother koko …. Haha
kenapa gitu? Ya soalnya kan brother sudah kerja di medan. Jadi, kami mengantarkan seorang pengantin baru, bapak koko dan mbaq dwi. Hehe. Semoga menjadi yang SAMAWA ya, dan cepat dapat keturunan, biar ry bisa menggedongnya kesana mari … haha







Jadi, hari minggu tanggal 14 Februari 2016. Aku dan keluargaku bergegas ke Pantai. Tujuannya sih bakar-bakar ayam, menikmati suasana pantai gitu. Ceritanya pantai ini adalah pantai paling dekat dengan kota Medan, so jangan tanya bagaimana keadaannya pantai ini kalau kita datangnya hari minggu, apalagi ini liburan pas orang-orang merayakan hari valentin . Wow, hampir tak bernafas kita-kita nih. Di setiap sudut mata memandang pasti nemu manusia. Manusia yang membentang tikar di setiap sudut pasir kosong, membentang jajahan dagangan bahkan tempat parkir pun penuh dengan kendaraan.
Bahkan ya, sekalipun kita bawa tikar sendiri dari rumah, tetap saja disuruh bayar juga kalau membentang tikar di atas pasir. Walaaaahhh, menang banyak nih mereka. Mentang-mentaaang hooo silap lohh. Coba aja datangnya hari biasa, pondok-pondok yang terbuat dari kayu disinggahi pun tak bayar tak apa. Ini pantang ada pasir kosong, dijadikan uang juga tuh sama mereka.
Maka setelah sampai di pantai yang rame nya berasa di dufan (pernah ke dufan emang?) kami pun bakar-bakar. Bakaaar rumah wargaaaaaaaaaaa. Enggak ding, bakar ayam lah. Ada pemandangan yang sangat berbeda sejak terakhir kali aku singgah ke pantai putra deli ini. Sudah tidak terlihat lagi tepi pantainya, tepi pantai sudah ditutupi oleh kayu-kayu pembatas. Airnya juga berasa kayak susu milo, mungkin karena pengunjungnya banyak, jadi airnya begitu. Rusak deh liburan kali ini. Tak seindah imajinasi, huaaaa..
Sudah menempuh perjalanan yang jalannya bagai terombang-ambing di laut lepas. Jalanannya tidak semulus dulu, sekarang sudah banyak lubang-lubangnya, mungkin karena banyak truk lewat. Eh sesampainya di pantai malah disuguhin dengan keramaian pengunjung yang bikin dada sesak, airnya lagi huuuuu. Pulang deh pulang..
Setelah melihat suasana pantai yang ogah-ogahan begitu, kami memutuskan untuk pindah ke pantai sebelah. Haha kadang lucu loh, satu air tapi nama pantainya beda. Orang sini bilangnya beda lapak. Jadi dibatasin gitu. Kami menempuh jalan sedikit, melewati batas pantai, maka sampailah di pantai kedua. Bedanya di pantai kedua ini ada tepi pantainya, tapi airnya ya sama saja, cokelat. Pasirnya putih, suasanya tidak seramai Pantai yang pertama tadi, tidak ada pedagang-pedagang yang memenuhi tepian pantai, tidak banyak juga yang memenuhi tepi pantai dengan tikar. Jadi liburan kali ini sedikit lebih seru. Setidaknya bisa kumpul barang keluarga deh. Soalnya suasana begini langka banget bagi keluargaku, mengingat semua sibuk dengan kegiatan masing-masing setiap harinya. Semoga ada waktu untuk liburan yag lebih baik dari liburan kali ini. Dan bersyukurlah bagi kalian yang bisa liburan bareng keluarga setiap saat.







kami pun akhinya menunggu matahari tuk tenggalam, dengan suasana pantai yang nyaman, indah, mainan ombaknya pun bersuka ria, kapan lagi coba kayak gini, jadi ya jangan disia-siakan sedikit pun dunk .... haha



matahari pun sudah muncul dan ingin tenggelam lagi, rasanya kita ingin mengejar matahari itu, agar jangan tenggalam, apabila tenggelam maka terasa gelap kehidupan ini, tiada cahaya sedikit pun... begitu juga dengan kehidupan, apabila kita hanya seorang diri tinggal didunia yang seluas ini, maka kehidupan kita akan terasa hampa... maka sebab itu allah memberikan kita seseorang yang jauh disana buat menemani hari - hari kita ... 

 
langit pun sudah berubah, kami pun tidak ada beranjak sedikit pun dari pantai itu, tetap saja kami bercanda gurau, menghabiskan 1 harian dipantai, menghilangkan semua kepenatan yang mungkin tersimpan diantara kami satu per satu. mengukir tulisan di pasir putih sebagai saksi kalau kami semua mencintai keindahan anugrah allah yang telah diberikan kepada kami semuanya, tinggal kita saja sebagai manusia harus menjaga dan melestarikan pantai ini, jangan sampai pantai yang bersih, nyaman dan seindah ini rusak dengan manusia yang membuang sampah dengan sembarangan.





see you....
nikmatnya indah dibalik dasar laut, maupun dikedalamannya... semua terasa indah ...
so jangan pernah siakan keindahan yang telah allah kasih kepada kitanya...
wassalam gusy...
lanjutkan semua pertualang kalian bersama keluarga maupun orang yang sayang disekeliling kalian, jangan pernah sia-siakan mereka, apabila kalian merasa penat atau hari - hari nya mulai bosan, segeralah memulai buat liburan kalian, karna dengan liburan ketempat yang menarik, saya jamin, pasti suasana kalian akan berubah... akan lebih berwarna lagi .....

Selasa, 02 Februari 2016

Sejarah Hijab diDunia

Assalamu’alaikum teman – teman ... ^_^
      Hellow there sahabat-sahabat hijabers yang anggun, manis, cantik dan soleha . 01 Februari kemarin tepatnya, orang – orang sedunia pada memperingati hari hijab sedunia loe.
Jilbab sudah dikenal sejak dulu. Di beberapa negara Islam, pakaian sejenis jilbab dikenal dalam banyak istilah, seperti chador di Iran, pardeh di India dan Pakistan, milayat di Libya, abaya di Irak, charshaf di Turki, dan hijâb di beberapa negara Arab-Afrika seperti di Mesir, Sudan, dan Yaman. Terlepas dari istilah yang digunakan, sebenarnya konsep berjilbab memang milik semua agama. Misalnya dalam kitab Taurat, kitab suci agama Yahudi, dikenal beberapa istilah yang semakna dengan hijâb seperti tif’eret. Demikian pula dalam kitab Injil yang merupakan kitab suci agama Nasrani (Kristen dan Katolik) diistilahkan dengan zammah, re’alah, zaif dan mitpahat.
Menurut Eipstein, seperti dikutip Ust. Nasaruddin Umar dalam tulisannya, "Hijâb sudah dikenal sebelum adanya agama-agama Samawi (Yahudi dan Nasrani / Kristen)" jilbab sudah menjadi wacana dalam Code Bilalama (3.000 SM), kemudian berlanjut di dalam Code Hammurabi (2.000 SM) dan Code Asyiria (1.500 SM). Ketentuan penggunaan jilbab bahkan sudah dikenal di beberapa kota tua seperti Mesopotamia, Babilonia, dan Asyiria. Dengan demikian sejarah mencatat bahwa jilbab sendiri merupakan bagian dari busana yang dianjurkan atau dikenalkan atau di wajibkan atau menjadi identitas dari agama-agama besar di dunia. Dapat disimpulkan bahwa jilbab/Hijaab muncul dari lingkungan keagamaan dan menjadi tradisi kehormatan di lingkungan terhormat (kerajaan, biara, ordo, tempat ibadah, dsb). Bila membandingkan dengan sejarah rok mini, jelas jilbab lahir dari semangat dan miliu yang berbeda. 
Jilbab/Hijab/Kerudung awalnya adalah sebuah benda yang kemunculanya akibat dari dorongan syaraiat, artinya munculnya ide budaya materiJilbab/Hijab/Kerudung adalah berasal dari hukum Alloh yang jelas, sudah diberi definisi dan ketentuan apa yang dimaksud, dan dalam kadar seperti apa sesuatu bisa disebut sebagai sebuah Jilbab/Hijab/Kerudung (Al ~ Qur’an surat An – Nur (24): 31). Sehingga manusia tinggal memahami kemudian mewujudkanya. Dalam konteks ini, penulis menafsirkan awalnyaJilbab/Hijab/Kerudung masih sebatas sebagai fungsi teknis, artinya baru sebatas sebagai sebuah benda yang memiliki fungsi untuk menutupi bagian tubuh yang dilarang untuk dilihat oleh orang lain, untuk menghindari maksiat bagi yang melihat( Al ~ Qur’an surat Al – Ahzab (33): 59). Kemudian fungsiJilbab/Hijab/Kerudung tidak hanya sebatas sebagai fungsi teknis saja. Karena dalil tidak sebatas itu dalam memerintah, akan tetapi Jilbab/Hijab/Kerudungjuga sebagai sebuah identitas bagi si pemakainya. akibatnya masyarakat Arap yang memakai Jilbab/Hijab/Kerudung sesuai syariat memiliki identitas sosial baru, yaitu sebagai seorang wanita muslim yang dihormati dan lelaki segan dan tidak menggangu, demikianlah catatan sejarah berkata. Sehingga jikaJilbab/Hijab/Kerudung dikaitkan sebagai sebuah identitas sosial kaitanya dengan keagamaan, maka pembacaan Jilbab/Hijab/Kerudung berkembang lagi, tidak hanya sebatas teknofak, dan sosiofak akan tetapi fungsi ideofak otomatis juga melekat karena Jilbab/Hijab/Kerudung adalah bagian dari syariat agama islam, yang tak lain islam sebagai sebuah ideologi bagi sebagaian manusia dimuka bumi ini.
Sebagai mode, jilbab lahir dari konsep tentang kecantikan dan keindahan berstandar tinggi, bahkan ilahiah. Juga karena inilah kita bisa mengerti dan memaklumi adanya tuntutan agar pemakai jilbab harus punya spiritual quotient yang special ! Tidak saja anggun jilbabnya juga santun dan mewah akhlaknya, saya rasa semua pihak menerima ini sebagai titik ideal. Dalam hukum Islam -setidaknya yang mewajibkan penggunaan jilbab- urusan jilbab dapat dipandang sebagai syarat berbusana seorang wanita, yang tidak secara otomatis menyulap pemakainya menjadi wanita berakhlak indah, itu masih perlu banyak pembuktian yang lain. Maksud saya begini ; kalau ada dua wanita pencuri, yang satunya berjilbab dan yang lain tidak berjilbab, maka bobot dosanya berbeda. Pencuri berjilbab melanggar satu larangan yaitu mencuri, sedangkan yang tidak berjilbab melanggar dua larangan yaitu mencuri dan tidak berbusana dengan baik.
Abad ke 7 adalah abad dimana awal perintah berkerudung/berhijab, dalam konteks abad ke 7 di semenanjung Arabia, kondisi sosial masyarakat jauh dari pengaruh peradaban dua imperium besar yaitu Romawi dan Persia.(lihat: sejarah Muhammad, M Husein Haekal) Hal ini sebagai dampak dari geomorfologi Arab yang terpencil dan terkukung dari pegunungan dan padang pasir, hal ini berdampak pada pengaruh budaya yang cukup kecil terjadi, sehingga apa yang dikembangkan oleh masyarakat masih sesuai dengan doktrin yang ada di lingkungan masyarakat Arab. Jilbab/Hijab/Kerudung sebagai sebuah hasil pemahaman atas dalil agama juga belum mengalami perubahan akibat pengaruh dua pusat kebudayaan dan masih sesuai dengan makna, dan ketentuanya, yang dimaksud disini sesuai dengan dalil adalah Jilbab/Hijab/Kerudung berarti: kain penutup kepala sehingga kain menjulur hingga dada. 
Hal ini dapat ditarik sebuah pengetian bahwa masyarakat pendukung kebudayaan Jilbab/Hijab/Kerudung pada awalnya masih memegang teguh ketentuan-ketentuan dalil tentang Jilbab/Hijab/Kerudung, dan belum terfikirkan untuk merubah makna Kerudung/Hijab/Jilbab. Pasca islam pada abad ke 9-12 mengalami perkembangan dan persebaran mengalami akulturasi dengan kebudayaan lainya, misalnya di sebagaian Negara timur-tengah berkembang model Jilbab/Hijab/Kerudung dengan cadar, burqa, niqop, dan masker, kemudian berkembang pula di Nusantara atau Melayu abad 19Jilbab/Hijab/Kerudung selendang yang tidak menutupi penuh kepala, dan hanya di selampirkan. di kawasan timur juga berkembangJilbab/Hijab/Kerudung dengan motif hiasan tertentu sesuai dengan konteks lingkunganya, tidak sebatas polos tanpa motif, dan lain sebagainya. Hal ini menggambarkan bahwa ada sebuah perkembangan dalam berupaya untuk menafsiakan Jilbab/Hijab/Kerudung. Faktorya tentu banyak, hal ini terkait dengan kondisi sosial budaya, lingkungan, dan pemahaman atas dalil agama.
Singkatnya dalam konteks kondisi sosial-budaya misalnya: pendapat yang masih menjadi perdebatan para ahli, bahwa khusunya di Jawa pada abad 19, masih sedikit masyarakat yang memakai Jilbab/Hijab/Kerudung sesuai ketentuan dalil, hanya sebatas selendang yang diselampirkan di kepala, hal ini sebagaian berpendapat bahwa, hal ini sebagai dampak pola penyebaran agama islam yang dilakukan oleh Wali Songo, yang sangat toleran dengan budaya lokal, sehingga pada waktu itu Wali Songo baru menyampaikan masalah Teologis belum sampai pada masalah fiqih Jilbab/Hijab/Kerudung, karena menyadari bahwa hal ini akan merubah budaya berpakaian masyarakat jawa yang sangat mencolok. Contoh lain dalam konteks kondisi lingkungan alam: misalnya pada masyarakat di Melayu, yang memakai Jilbab/Hijab/Kerudung dengan bahan dan motif yang lebih variatif, hal ini menggambarkan kondisi bahan bakuJilbab/Hijab/Kerudung, yang sesuai dengan kondisi sumber daya alam masyarakat pendukungnya. Dan contoh yang terakhir adalah perubahanJilbab/Hijab/Kerudung karena pemahaman dalil agama yang menyebabkan berubahanya Jilbab/Hijab/Kerudung. Misalnya saja Cadar yang masih menjadi perdebatan para ulama dalam hal keharusanya memakai.
Dari semua proses dari awal pemahaman manusia atas dalil agama yang menyebutkan keharusan berkerudung/berhijab, hingga abad selanjutnya dalam proses perubahan Jilbab/Hijab/Kerudung dapat dimaknai bahwa manusia pendukung budaya materi Jilbab/Hijab/Kerudung memiliki pola fikir pada dimensi Jilbab/Hijab/Kerudung sebagai sebuah benda materi sacral, karena ini adalah perintah Alloh, sehingga tidak ada inovasi yang berarti, jika ada hal ini disebabkan karena factor-faktor yang sebenarnya bukan melenceng dari anggapan kesakralan itu sendiri, ini hanya terkait dengan factor teknis saja, belum beranjak pada masalah pergeseran ideologi.
·         Memaknai Fenomena Perubahan Budaya Materi: Jilbab/Hijab/Kerudung Kreatif
Yang dimaksud Jilbab/Hijab/Kerudung Kreatif dalam hal ini adalah sebuahJilbab/Hijab/Kerudung yang penulis anggap hilang dari sisi nilai-nilai ideologis sebagai dasar kemunculnya, dan bergeser yang lebih menonjol pada sisi gaya hidup atau sebuah mode. Sehingga Kerudung/Hijab/Jilbab disini mengalami pergeseran makna, dari sacral menjadi profane.Kerudung/Hijab/Jilbab hari ini juga telah menjadi symbol-simbol lapisan sosial, tentu saja maksud penulis bukan sebatas symbol lapisan sosial dalam kontek antara agama, seperti pada permulaan munculnya Jilbab/Hijab/Kerudung itu sendiri, akan tetapi sebagai sebuah symbol lapisan sosial dalam kontek klasifikasi tingkatan ekonomi. Selanjutnya penulis juga menemukan sebuah fenomena yang cukup menarik bahwa fenomena Jilbab/Hijab/Kerudung kreatif telah menarik segelintir orang untuk mengapresiasi melalui sebuah perkumpulan yang dipersatukan atas dasar budaya materi ini. Ternyata hobi, kegemaran dan bisnis memakai Jilbab/Hijab/Kerudung ini mengispirasikan sekelompok wanita untuk mendirikan sejumlah situs untuk mempromosikan dan kemudian mempunyai basis massa dan visi-missi tertentu.
Kemudian munculnya Jilbab/Hijab/Kerudung kreatif juga menumbuhkan sebuah klasifikasi yang  baru, hal ini sebuah fenomena yang biasa dalam konteks zaman sekarang. Misalnya kita berangkat dari sebuah contoh, agar mudah menggambarkan hal ini. Lagam atau model pada budaya materi celana jeans misalnya, tahun 70-an umum telah berkembang model calana jeans cutbrai, baru pada tahun 90-an model ini sempat menghilang, dan kembali muncul tahun 2007. Kemudian model ini tahun 2010 menghilang karena model celana jeans pensil. Gaya celana pensil ini secara otomatis akan menganeliasi gaya cutbraiy, sehingga jika ada remaja yang masih memakai celana jeans cutbraiy saat ini dalam perspektif klasifikasi fashions dia akan masuk pada golongan mode kuna. Hal ini terjadi secara otomatis, sehingga celana pensil dalam waktu sekejap menjamur dan dipakai segala lapisan masyarakat yang selalu tidak mau ketinggalan mode. Nampaknya begitu juga dengan Jilbab/Hijab/Kerudungini. Jilbab/Hijab/Kerudung ini mulai menjamur,apalagi dengan dukungan media massa dan elektronik, Jilbab/Hijab/Kerudung ini siap-siap akan menjadi pusat perhatian baru, sehingga masyarakat akan banyak memburu model ini. Dalam perkembangan waktu seperti yang berlaku pada celana jeans, bahwa jika masih ada yang menggunakan Jilbab/Hijab/Kerudung “formal” maka secara otomatis dia akan masuk dalam klasifikasi gaya era masa lalu, tentu hal ini melalui kacamata masyarakat pengagum mode.
Kemunculan mode ini memang tidak datang sesederhana seperti apa yang kita banyangkan. Kemunculan ini tentu melalui beberapa fase dan kepentingan. Ada beberapa tahapan yang penulis jabarkan disini tentu dalam kontek Indonesia. Pertama: bahwa munculnya Kerudung/Hijab/Jilbab yang marak di Indonesia baru muncul pasca tumbangnya rezim Orde Baru. Pada waktu itu ditandai dengan munculnya kerudungisasi dikalangan masyarakat kampus. Orde Baru adalah dimana Kerudung/Hijab/Jilbab menjadi sebuah hal yang masih awam untuk dipakai. Hal ini memang sangat terkait dengan situasi politik dan budaya pada masa itu. Peperangan yang panjang pasca kemerdekaan, sampai kondisi pemerintah yang antipati terhadap gerakan ekstrimis kanan yang terwakilkan oleh gerakan DII dan Negara Islam Indonesia hingga terakhir tragedi Tanjung Priok berdampak pada pengamalan agama islam. Selain itu juga kebijakan pemerintah yang cukup represif terhadap pengawasan kegiatan pengamalan agama dan siar islam yang dilakukan sejumlah organisasi islam juga berdampak pada sosialisasi atas Jilbab/Hijab/Kerudung ini, sehingga dampaknya sangat terlihat pada masa Orde Baru sedikit muslimah yang memakai Kerudung/Hijab/Jilbab. Kedua: era tahun 90-an, pemerintah cukup mulai memperhatikan kehidupan beragama. Hal ini sebagai sebuah dampak dari kehidupan pribadi Soeharto yang sudah mulai berusia lanjut. Religiusitas Soeharto meningkat ditandai dengan berangkatnya haji dan umroh yang selalu dipertontonkan melalui media, hal ini dampaknya cukup bagus, kelonggaran beragama mulai ditunjukan dengan beberapa surat keputusan presiden yang dikeluarkan.
Ketiga: pasca reformasi ada sekolompok masyarakat yang menginginkan kehidupan islami di setiap lini aktivitas, dan juga dibarengi dengan kebebasan berekspresi, hal ini semakin mempermudah segala aktivitas hidup sesuai dengan ideologi masing-masing. Keempat: kemudian fase yang terakhir inilah yang menyuburkan symbol-simbol agama dipakai dalam kehidupan, termasukJilbab/Hijab/Kerudung. Sebuah catatan yang penulis tekankan adalah pada awalnya masyarakat belum berfikiran akan memodifikasi gayaJilbab/Hijab/Kerudung mereka. hal ini tentu saja dapat dipahami bahwasanya, masyarakat baru belajar memakai simbol baru yang sebenarnya sudah lama dikenal, dampaknya adalah normative, dan masih sesuai dengan ketentuan yang selaras dengan dalil.
Fase selanjutnya memang Jilbab/Hijab/Kerudung menjadi trend masyarakat muslimah indonesia. hal ini mendorong pula dimunculkanya aturan-atruran yang melegalkan Jilbab/Hijab/Kerudung, terutama di instansi-instansi islam yang sebagai lembaga pendukung kebudayaan ini. Dampaknya massiveJilbab/Hijab/Kerudung menjadi hal yang biasa atau lumrah pada perkembangan selanjutnya. Kelumprahan inilah sebenarnya akar dari sebuah upaya desakralisasi Jilbab/Hijab/Kerudung itu sendiri, ditambah penekanan pada esensi kewajiban berkerudung bagi seorang muslimah mulai ditinggalkan, dan hanya sebatas peraturan berkerudung yang diberlakukan, terutama untuk sekolah islam. Tentu saja hal ini tidak mewadahi jikalau muncul sebuah apologistik, terhadap esensi berkerudung.
Tradisi menutup kepala dapat ditelusur dari bangsa Mesir Kuno yang memaknai rambut sebagai simbol kekuatan, keagungan dan kebanggaan. Mereka senantiasa memotong rambut secara total (botak) sebagai ekspresi kelemahan dan kerendahan hati di hadapan Tuhan. Kepala yang tanpa rambut rentan terhadap sengatan panas sehingga membuat mereka menutupi kepalanya. Tradisi memotong rambut ini kemudian menyebar ke berbagai pelosok dunia dan dicerna oleh peradaban yang saling berbeda termasuk Budha dan Hindu.
Dalam tradisi Nasrani, rambut tidak banyak dibahas. Mungkin karena ajaran Yesus lebih banyak menekankan esensi keberagamaan dan bukan simbol, maka beliau lebih banyak menekankan pada sentuhan hati dan nurani bukan pada bentuk dan penampilan. Kendati demikian Paulus dalam surat yang ditujukan kepada penduduk Corinthius (Kitab 11: 4-14) pernah mengatakan sebagai berikut:
“Setiap laki-laki yang bersembahyang atau bersuci hendaklah menutup kepalanya dengan sesuatu, demikian juga dengan perempuan, hendaklah dia menutupinya. Sebab jika perempuan tidak mau menudungi kepalanya, maka haruslah ia menggunting rambutnya. Tetapi jika bagi perempuan itu adalah penghinaan maka haruslah ia menudungi kepalanya? Sebab, pantaskah seorang perempuan menyembah Tuhan dalam keadaan tidak bertutup kepala?”
Nampaknya Paulus terpengaruh tradisi masyarakat Romawi yang membolehkan laki-laki sembahyang tanpa menutup kepala namun di sisi lain dia masih berpegang pada tradisi Yahudi yang melarang perempuan menghadap Tuhan tanpa menutup kepala dengan kerudung atau penutup lainnya.
Rambut perempuan dalam pandangan Yahudi dan Nasrani, juga beberapa agama lain tidak dianggap aurat tetapi dianggap sebagai simbol kekuatan dan keagungan. Dengan perspektif ini tradisi menutup kepala bagi kaum perempuan dan laki-laki (dalam ajaran Yahudi) dan bagi perempuan (dalam ajaran Nasrani) merupakan simbol kerendahan hati dan ketundukan diri di hadapan Tuhan. Maka sampai sekarang kita masih melihat kaum agamawan Yahudi dan Nasrani menutup kepala mereka saat bersembahyang. Dan kalaupun tidak menutup kepala sebagai penggantinya mereka harus memotong rambut sebagaimana dipraktekkan para agamawan Hindu dan Budha.
Sedangkan dalam ajaran Islam, menutup kepala (terutama perempuan) dianggap oleh sebagian orang sebagai kewajiban agama sedangkan sebagian yang lain menganggapnya sebagai bagian dari tradisi dalam berbusana (bukan kewajiban agama). Semasa Arab Jahiliyah, para perempuan biasa melewati laki-laki dengan keadaan telanjang dada tanpa ada penutupnya. Imam Zarkasyi menguraikan bahwa para perempuan itu mengenakan pakaian yang membuka leher bagian dadanya, sehingga tampak jelas seluruh leher dan urat-uratnya serta anggota sekitarnya. Mereka juga menjulurkan kerudungnya ke arah belakang sehingga bagian muka kelihatan. Lalu turunlah ayat tentang khimar atau kerudung:
“Wahai Nabi katakanlah kepada perempuan mukmin agar menundukkan pandangan, menjaga kehormatan dan tidak mempertontonkan perhiasan mereka kecuali yang sepantasnya tampak saja. Dan hendaklah mereka menjumbaikan khimar (kerudung) ke dada..”. QS An-Nur/24:31
Ayat ini menganjurkan agar lebih mengutamakan menutup dada sebagai ganti tradisi membiarkannya terbuka, tanpa maksud menetapkan jenis busana tertentu. Inilah simbol pembeda perempuan mukmin dan yang tidak.
Tradisi perempuan Arab untuk bersenang-senang, membiarkan muka mereka terlihat seperti budak dan oleh kondisi tertentu mereka membuang hajat di padang pasir, sebelum ada toilet di perumahan. Beberapa laki-laki sering berlaku buruk dengan beranggapan kalau mereka adalah budak  dan sering menggunakan para perempuan itu untuk kepentingan politik  dengan cara melecehkannya. Lantaran merasa diganggu, mereka melaporkan kepada Nabi. Lalu turunlah ayat ini untuk menjadi pembeda antara perempuan mukmin merdeka dan budak.
“Wahai Nabi, sampaikanlah kepada isteri-isterimu, putri-putrimu dan perempuan mukmin agar merendahkan jalabib (mantel) mereka. Yang demikian itu lebih memudahkan mereka untuk dikenal, sehingga mereka terhindar dari perlakuan buruk…”. QS Al-ahzab/33:59
Simbol pembeda ini dilakukan dengan cara memanjangkan pakaian, sehingga mereka lebih mudah dikenal dan tidak mendapat perlakuan buruk. Jilbab didefinisikan sebagai pakaian yang lebih besar ketimbang khimar (kerudung) dan menutupi  tubuh (mantel). Sekarang, budak sudah dihapuskan sehingga rasanya relevansi pembedaan itu sudah tidak diperlukan lagi.

Wassalam..